Kamis, 27 Mei 2010

“ESENSI MANUSIA MENURUT SEJUMLAH ALIRAN DALAM FILSAFAT”
Materalisme
Adalah paham filsafat yang menyakini bahwa esensi kenyataan, termasuk esensi manusia bersifat material atau fisik. Ciri utamanya adalah ia menempati ruang dan waktu, memiliki keluasan, dan bersifat objektif. Karena ia menempati ruang dan waktu maka ia bisa diukur, dikuantifikasi ( dihitung), dan diobservasi. Alam spritual atau jiwa yang tidak menempati ruang, tidak bisa disebut esensi kenyataan, dan oleh karena itu ditolak keberadaannya.
Para matrealisme percaya bahwa, segala peristiwa atau gejala yang terjadi tidak ada di ikuti oleh dunia spritual, karena tidak ada dunia hal spritual itu. Kalau ada peristiwa atau gejala yang masih belum diketahui atau belum bisa dipecahkan oleh manusia, disebabkan karena pengetahuan dan akal kita saja yang belum dapat memahaminya.
Matrealisme percaya bahwa setiap gejala, gerak, bisa dijelasakan menurut hukum kausalitas, sebab akibat atau hukum stimulus-respons. Gejala yang kita amati tidak bergerak dengan sendirinya, melainkan karena adanya sebab – sebab eksternal yang mendahulinya atau mengerakkannya. Jadi semua pergerakan di dunia ini termasuk manusia, tidak digerakkan oleh dirinya sendiri, atau dilakuakan demi mencapai tujian – tujuan yang ditentukan oleh dirinya sendiri, melainkan kekuatan – kekuatan di luar dirinya.
Fisika, biologi, kimia, kedokteran – adalah suatu bentuk ilmu dari matrealisme. Akan tetapi, ilmu-ilmu tentang manusia seperti psikologi dan sosiologi pun adalan matrealisme, jika memiliki asumsi bahwa objek kajiannya ( yakni prilaku manusia ) adalah materi yang menempati ruang dan waktu, bisa diukur, dan dikuntifikasi, dan bergerak ( berprilaku ) secara kausal.
Teori atau prespectif psikologi yang termasuk dalam matrealisme adalah psikobiologi dan psikologi behaviorisme. Alasannya adalah :
1) Psikobiologi mengasalkan gejala mental atau psikologi dari peristiwa – peristiwa mekanis, elektris, dan kimiawi yang berlangsung dalam tubuh, khususnya di otak dan sistem saraf.
2) Gejala psikologi harus disamakan dengan prilaku objektif yang menempati ruang, bisa diukur, dan dikuantifikasi.
3) Prilaku manusia diasumsikan sama dengan gejala alam, sehingga bisa dijelaskan menurut hukum sebab-akibat.
4) Stimulus-stimulus eksternal tertentu dianggap menentukan prilaku manusia, sehingga manusia dianalogikan dengan objek yang pasif dan mekanis yang tidak mempunyai kehendak untuk menentukan dirinya sendiri.
Manusia adalah bagian dari alam atau materi. Manusia adalah yang subtansinya adalah keluasan. Manusia adalah mesin atau kumpulan sel dan saraf. Manusia adalah daging ( tubuh ) tanpa jiwa, menempati ruang dan waktu. Sebagai tubuh ( daging ), manusia mengalami perkembangan dan penyusutan, sejalan dengan perjalanan waktu.
Akibat selanjutnya, manusia merupakan makhluk yang deterministik, tidak memiliki kebebasan. Manusia berprilaku karena ada suatu sebab yang mendahuluinya ( stimulus ), yang menuntut untuk diberikan respon atau reaksi.
Idealisme
Menurut aliran ini, kenyataan ini bersifat spritual. Para idealis percaya bahwa ada kekuatan atau kenyataan spritual di belakang setiap penampakan atau kejadian. Esensi dari kenyataan spritual adalah berpikir. Karena kekuatan atau kenyataan spritual tidak bisa di ukur atau dijelaskan berdasarkan pada pengamatan empiris, maka kita hanya bisa menggunaka metafor-metafor kesadaran manusia. Minsalnya, kekuatan spritual dianggap bersifat rasional, berkehendak, berperasan, kreatif, dan lain – lain.
Fungsi metafor kesadaran manusia untuk menjelaskan kenyataan sejati oleh para idealis, sama halnya fungsi metafor hewan dan komputer untuk menjelaskan prilaku manusia oleh para behavioris dan para psikolog kognitif dalam ilmu psikologi. Para behavioris dan para psikologi kognitif mendapatkan kesulitan dalam meneliti dan menjelaskan kompleksitas prilaku manusia, sehingga diperlukan metafor hewan dan komputer untuk menyederhanakannya. Demikian juga, para idealis mendapatkan kesulitan untuk menjelaskan kenyataan sejati yang ada di balik penampakan lahiriah, sehingga perlu metafor kesadaran manusia untuk menjelaskannya. Jika kenyataan pada dasarnya bersifat spritual atau nonfisik, maka hal-hal yang bersifat ideal dan normatif, seperti agama, hukum, nilai, dan cita-cita atau ide, memegang peranan penting dalam kehidupan. Hukum dalam kehidupan bermasyrakat dan bernegara, serta agama dan nilai dalam kehidupan sosial dan pribadi, merupakan norma-norma yang mengerakkan prilaku manusia dan masyarakat manusia. Norma atau nila tersebut adalah panduan dan sekaligus sasaran ke arah mana manusia hendak menuju atau kearah mana prilaku manusia diarahkan untuk mewujudkannya.
Prilaku manusia mengandung maksud dan tujuan, bukan semata-mata bergerak secara dinamis. Sumber atau pengerak utama manusia prilaku bukan kekuatan eksternal ( stimulus dan sistem saraf pusat ), melainkan kekuatan internal, yakni jiwa, yang hendak mewujudkan dirinya dalalm mengapai nilai-nilai pribadinya dan norma-norma atau hukum-hukum masyarakat dan agamanya. Jadi tujuan hidup manusia adalah untuk mengaktualisasiakn diri dan nilai-nilai yang diyakininya.
Kebudayaan manusia merupakan cara jiwa manusia mengekspresikan dirinya, mengeksternalisasikan nilai-nilai yang terapat di dalam jiwanya. Demikian juga karya – karya kesenian, yang merupakan produk dari kreativitas estetis atau pembrontakkan dan kegilasan jiwa manusia yang artistik. Jadi prilaku, kebudayaan maupun kesenian harus dipahami sebagai simbol dari kegiatan ( aktivitas ) jiwa. Tubuh harus dipahami sebagai serana bagi jiwa dalam mengekspresiakan dirinya, baik dalam bentuk prilaku yang langsung maupun tidak langsung seperti dalam bentuk kebudayaan dan kesenian.
Sebagian besar para idealisme menyatakan bahwa Roh Absolut ( Tuhan ) adalah bebas dan tak berhingga, tetapi manusia sebagai bagian atau perwujudan dari Roh Absolut, tidak bebas dan berhingga. Baik kedudukan maupun tindakkan manusia sudah diatur atau ditentukan sebelumnya oleh Roh Absolut. Tidak ada kebebasan manusia, baik secara individual maupun secara kolektif. Karena kebebsan manusia sesungguhnya adalah kebebsan Roh Absolut. Akan tetapi ada juga para idealisme menekankan kebebsan manusia. Salah satu aliran dari idealisme yang disebut Personalisme, menekankan bahwa Roh bersifat individual ( pribadi ), masing – masing berdiri sendiri, sehingga setiap pribadi, setipa individu, mempunyai kebebsan untuk mengekspresikan dirinya sendiri.

Dualisme
Menurut aliran ini, kenyataan sejati pada dasarnya adalah baik bersifat fisik maupun spritual. Semua kejadian yang terjadi di alam raya ini tidak bisa diasalkan pada subtansi saja. Jadi kenyataan sejati adalah perpaduan anatara materi dan roh. Manusia adalah mahkluk yang terdiri dari dua subtansi, yakni materi dan roh, tubuh dan jiwa.
Menurut Descrates ( 1596 – 1650 ), tubuh adalah subtansi yang ciri atau karekteristiknya adalah berkeluasan ( res extensa ), menepati ruang dan waktu. Karena karekteristiknya siapa pun bisa mengamati, menyentuh, mengukur, dan mengkuantifikasinya. Akal sehat dan ilmu-ilmu organisme ( tubuh ) – biologi, fisika, kimia dan sebagainya – mampu menjelaskan bahwa sebagian dari prilaku hewan dan manusia pada dasarnya merupakan fungsi dari tubuh ( terutama sisitem saraf pusat ).
Akan tetapi, keberadaan jiwa, meski tidak bisa diamati secara indrawi, tetap bisa dibuktikan secara rasio ( pikiran ). Menurut Descrates, keberadaan jiwa, yang karekteristiknya adalah res cogitans ( berpikir ) justru lebih jelas dan tegas dibandingkan dengan keberadaan tubuh.
Vitalisme
Adalah paham di dalam filsafat yang beranggapan bahwa kenyataan sejati pada dasarnya adalah energi, daya, kekuatan, atau nafsu yang bersifat irrasional. Vitalisme percaya bahwa seluruh aktivitas dan prilaku manusia pada dasarnya merupakan perwujudan dari energi-energi atau kekuatan-kekuatan yang tidak-irasional dan instigtif. Setiap keputusan atau prilaku yang dianggap “rasional” pada dasarnya adalah rasionalisasi saja dari keputusan-keputasan yang tidak rasional. Manusia merasa berprilaku seolah-olah dilandasi oleh keputusan-keputusan yang rasional, tetapi sesungguhnya didasari oleh energi, naluri, atau nafsu yang tidak rasional. Rasio hanyal alat yang berfungsi untuk merasiolisaikan hal – hal atau keputusan – keputusan yang sebetulnya tidak rasional.
Eksistensialisme
Eksistensialisme membahas esensi manusia secara spesifik meneiliti kenyataan kongkret manusia sebagaimana manusia itu sendiri berada dalam dunia. Eksistensialisme tidak mengkaji subtansi yang berada dibalik penpampakan manusia, melainkan mengungkapkan eksitensi manusia sebagaimana yang dialami oleh manusia itu sendiri. Eksitensi mengacu pada sesuatu yang konkret, individual, dan dinamis. Eksitensi berasal dari exsitere ( eks = keluar, sistere = ada atau berada ). Jadi eksistensi memiliki arti sebagai “sesuatu yang sanggup keluar dari keberadaannya”. Atau “ sesuatu yang sanggup melampaui dirinya sendiri”. Para eksistensialis menyebut manusia sebagai suatu proses, “menjadi”, gerak yang aktif dan dinamis.
Struktualisme
Dapat diartikan sebagai alran dalam filasafat manusia yang menempatkan struktur ( sistem ) bahasa dan budaya sebagai kekuatan – kekuatan yang menentukan prilaku dan bahkan kesadaran manusia. Para struktualisme mengangap manusia tidak bebas dan terstruktur oleh sistem bahasa dan budaya. Aliran ini berpandangan manusia tergantung pada kedudukan dan fungsinya dalam sistem, persis sama dengan huruf dalam sistem bahasa tertentu. Ada aturan main yang menyebabkan manusia, sadar atau tidak sadar, harus mematuhi aturan-aturan di dalam sistem tersebut.
Posmodernisme
Filsafat ini hampir sama dengan struktualisme, akan tetapi diskusi-diskusi posmodernisme masuk ke dalam aspek-aspek kehidupan manusia yang lebih beragam dan aktual. Menurut pandangan para posmodernisme, telah terjadi dominasi atau klonialisasi yang halus dan diam-diam dalam semua aspek kehidupan manusia. Pelakunya adalah sistem-sistem besar yang bersifat tunggal ( the one ) terhadap sistem-sistem kecil bersifat jamak ( the plurals ). The one identik dengan kebudayaan barat dan the plurals dengan kebudayaan timur. Para Posmodernisme menetang dominasi nilai – nilai perbedaan. Menurut para Posmodernisme, the plurals harus diperhatikan, diungkap ke permukaan, karena memiliki nilai yang penting yang tidak bisa diukur oleh nilai – nilai yang terkandung dalam the one.

1 komentar: